ASEAN dan Logika Terbalik Fungsionalisme

Satu-satunya cara untuk mengikuti terbaru tentang
adalah untuk terus tinggal di mencari informasi baru. Jika Anda membaca segala sesuatu yang Anda temukan tentang
, itu tidak akan memakan waktu lama bagi Anda untuk menjadi otoritas yang berpengaruh.
Kamis, 12 Mei 2011 - 09:34 wib
œEmpat atau lima dekade lalu, Asia Tenggara dirobek-robek oleh perang, konflik, perpecahan, dan sikap saling percaya. Kini Asia Tenggara diliputi perdamaian di antara negara-negara di kawasan tersebut. Kerja sama dan kemakmuran tersebar di seluruh kawasan ini.

Hal itu dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat membuka Konferensi Internasional ketujuh Overseas Private Investment Corporation (OPIC) di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada Rabu (4/5/2011) yang dihadiri para investor, lembaga keuangan, pebisnis, dan pejabat-pejabat pemerintah terkait. Konfrensi tersebut mengambil tema 'Akses Menuju Peluang di Asia Tenggara' atau Access to Opportunity in Southeast Asia.

Apa yang dikatakan SBY pada konfrensi tersebut merujuk pada salah satu gagasan yang cukup dikenal dalam literatur ilmu hubungan internasional, yaitu fungsionalisme. Fungsionalisme adalah konsepsi menyangkut kerjasama dalam satu kawasan yang sifatnya non-politis. Reward dari gagasan fungsional itu adalah kerja sama dan kemakmuran karena tercipta saling ketergantungan (interdependensi) ekonomi antar negara-negara di kawasan.

Tulisan singkat ini ingin menunjukkan logika terbalik fungsionalisme dari perkataan SBY. Yang jika mengikuti editorial Japan Times dua tahun lalu (5 Maret 2009) mengenai KTT ASEAN di Hua Hin, Thailand, apa yang dikatakan  SBY itu sesungguhnya menutupi kenyataan berikut: the new ASEAN looks a lot like the old one: united more in word than reality.

Logika Fungsionalisme

Secara konsepsional fungsionalisme adalah proses kerja sama sektor per sektor yang sifatnya nonpolitis (ekonomi, sosial, dan budaya). Tujuan dari kerja sama itu adalah untuk menciptakan stabilitas kawasan yang lebih kooperatif ketimbang konfliktual. Dalam kerangka kerja sama yang seperti ini, pendekatan fungsional dipercaya akan mampu untuk mengintegrasikan negara-negara yang tergabung dalam satu kawasan tertentu karena sifatnya yang saling menguntungkan satu-sama-lain.

Dengan kata lain, pola kerja sama fungsional akan memicu para pemerintah nasional dari masing-masing negara untuk terlibat didalamnya karena badan-badan yang bersifat non-politis ini dipercaya akan menguntungkan secara timbal balik (resiprokal) dan ini sesuai dengan kepentingan nasional.

Jika pola kerja sama fungsional ini telah berjalan sesuai harapan, maka kondisi interdependensi akan terwujud. Dan disinilah saat dimana kerja sama antarnegara semakin padu dan terintegrasi. Menurut Ernest B. Haas, kerja sama fungsional yang berhasil akan menciptakan apa yang disebutnya sebagai efek Spillover (efek pelimpahan atau pelebaran sayap), atau apa yang oleh David Mitrany namakan sebagai Doctrine of Ramification (Doktrin Percabangan).

Kerja sama baja dan batubara atau ECSC (European Coal and Steel Community) yang dilakukan oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Belgia, dan Luxemburg) pada tahun 1951 adalah contoh paling tepat untuk menggambarkan  efek Spillover ini. Jika kerja sama baja dan batubara berhasil menciptakan keuntungan, hal itu kemudian akan mendorong pihak lain untuk membentuk kerja sama baru di sektor-sektor tambahan seperti perbaikan transportasi, undang-undang perburuhan atau pengendalian lingkungan. Menyebarnya kegiatan ini ke berbagai sektor diasumsikan akan mempererat kerja sama yang pada akhirnya mendorong pada unifikasi politik.

Maksudnya adalah unifikasi politik hanya dapat diciptakan melalui kerjasama-kerjasama yang sifatnya  low-politics. Atau dengan kata lain, untuk dapat melakukan kerja sama di bidang keamanan dapat dimulai melalui kerja sama dalam bentuk pasar bersama, ekspor-impor, kerja sama saling tukar ahli teknologi, pemeliharaan lingkungan hidup, dan sebagainya. Ini merupakan pandangan optimis dari para penganut fungsionalis bahwa perdamaian dapat dibangun melalui per bidang kerja sama (peace by pieces formula). Artinya saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya akan memiliki dampak yang menstabilkan hubungan antar negara di kawasan (Ambarwati, 2009).

Praktis di era ini, Eropa nyaris absen dalam perang antarnegara Eropa dan bahkan justru membawa kawasan tersebut pada kerja sama yang lebih meluas. Sejak keberhasilan ECSC pada tahun 1951,  kerja sama Eropa terus melebar hingga tahun 1957 melalui perjanjian Roma. Keenam negara tersebut (Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, dan Luxemburg) menambah lagi dua organisasi baru, yaitu EEC (European Economic Community) dan Euratom (European Atomic Energy Community). Ketiga organisasi ini, ECSC, EEC, dan Euratom, kemudian digabung menjadi satu wadah tunggal yang kemudian dikenal sebagai EC (European Community).

Dengan perjanjian Maastrich yang ditandatangani pada 7 Februari 1992, nama EC akhirnya diubah menjadi EU (European Union). Dan tiga tahun kemudian (1995), keanggotaan EU sudah mencapai 15 negara dan terus berkembang menjadi 25 negara pada tahun 2005 dan 27 negara pada tahun 2009 di mana penambahan negara juga meliputi wilayah negara-negara bekas Eropa Timur. Itu berarti, kerja sama fungsional dapat menjadi obat penawar paling ampuh bagi Eropa untuk lebih mempererat dan memperluas integrasi, meningkatkan kemakmuran dan menciptakan perdamaian di kawasan.

Dengan mengambil contoh keberhasilan EU dalam hal integrasi dengan kerja sama fungsionalnya adalah wajar bila Presiden SBY mengatakan bahwa EU merupakan rujukan bagi ASEAN dalam hal integrasi ekonomi karena EU memiliki pengalaman panjang dalam hal integrasi ekonomi dan pembentukan komunitas.

Jika Anda menemukan diri Anda bingung dengan apa yang Anda sudah membaca hingga saat ini, jangan putus asa. Semuanya harus jelas pada saat Anda selesai.

Kasus ASEAN

Dengan keberhasilan EU dalam hal integrasi, lalu bagaimana dengan ASEAN sendiri. Apakah dengan mengadopsi cara-cara EU dengan kerja sama fungsionalnya lantas secara otomatis akan membawa ASEAN pada kemakmuran dan kerja sama yang padu di kawasan seperti apa yang telah disinggung oleh Presiden SBY di atas.

Jawabannya tentu tidak. Mengapa? Karena ASEAN sebagai sebuah organisasi regional negara-negara Asia Tenggara dinilai tidak mampu memberikan surplus ekonomi bagi negara anggotanya. ASEAN juga dinilai gagal menunjukkan perannya sebagai wadah pemersatu negara anggota atau keengganan negara anggota untuk menjadikan ASEAN sebagai wadah untuk mempersatukan mereka.

Dalam hal perdagangan ASEAN-China misalnya, ASEAN dinilai gagal dalam memberikan surplus ekonomi bagi para anggotanya. Sejak ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) diberlakukan pada 1 Januari 2010, ASEAN mengalami kerugian yang besar bagi negara-negara anggotanya. Surplus perdagangan justru diperoleh pihak China.

Di Indonesia sendiri, ACFTA telah menurunkan produksi industri nasional sampai 50% karena kalahnya persaingan, khususnya pada produk usaha kecil dan menengah, di pasar dalam negeri.

Akibatnya adalah sektor industri terpaksa memangkas jumlah tenaga kerja hingga 20%. Padahal pertambahan angkatan kerja baru mencapai 2 juta per tahun. Itu berarti jumlah pengangguran terus meningkat dari 8,9 juta pada tahun 2009 menjadi 9,2 juta orang pada tahun ini (2011). Begitupula dalam hal neraca perdagangan Indonesia terus menurun. Sebagai contoh, jika pada tahun 2006 Indonesia masih menikmati surplus US$39.7 miliar dari perdagangan, tahun ini Indonesia hanya mendapatkan keuntungan sebesar US$22.1 miliar. Tergerusnya surplus perdagangan itu, disebabkan oleh kian timpangnya neraca ekspor-impor Indonesia dan China. Pada tahun 2000-2007 neraca perdagangan Indonesia-China masih seimbang, tapi lambat-laun Indonesia malah mengalami defisit. Pada tahun 2010 saja, defisit perdagangan Indonesia dengan China sudah mencapai US$7 miliar. Data itu menunjukkan begitu derasnya arus barang dan jasa dari China yang masuk ke Indonesia, mulai dari remeh-temeh seperti peniti hingga barang yang sesungguhnya sudah banyak di negeri ini (Editorial MI, Jumat 29 April 2011).

Tidak hanya Indonesia, Vietnam juga dikabarkan mengalami kerugian besar secara ekonomi akibat membanjirnya produk-produk dari China. Diperkirakan 90 persen defisit perdagangan Vietnam berasal dari perdagangan yang timpang dengan China. Menurut Anh Le Tran, analis ekonomi dari Institut Teknologi Massachusetts, kekhawatiran membanjirnya produk China telah membuat industri domestik Vietnam terpukul.

Tidak solidnya ASEAN dalam hal perdagangan dengan China yang merugikan juga tampak dalam persilisihan antar negara anggotanya sendiri. Contoh baik mengenai hal ini adalah kasus konflik Thailand-Kamboja dalam mempersengketakan Kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara yang telah memakan korban bagi prajurit kedua pihak. Kasus ini menunjukkan bahwa konflik antara Thailand dan Kamboja telah menodai prinsip dasar dari Bali Concord II dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang menolak segala bentuk penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik antar sesama anggota ASEAN.

Begitupula dengan kasus Indonesia-Malaysia. Ketegangan yang sering muncul diperbatasan laut mereka telah menciptakan sentimen nasionalisme bagi kedua pihak. Akibatnya adalah rasa benci dari masing-masing warga negara telah menimbulkan rasa permusuhan yang semakin mendalam: warga negara Malaysia menyebut warga negara Indonesia sebagai ˜Indon dan warga nagara Indonesia menyebut warga negara Malaysia sebagai ˜Malingsia.

Dapat dikatakan, hampir setiap negara anggota ASEAN menghadapi konflik perbatasan: Malaysia dengan Thailand, Myanmar dengan Thailand, Laos dengan Vietnam, Indonesia dengan Malaysia, Thailand dengan Kamboja, dan tidak padunya suara ASEAN dalam mengahadapi sengketa Laut Cina Selatan.

Semua fakta ini (konflik perbatasan antarnegara anggota ASEAN dan defisit perdagangan akibat ACFTA) menunjukkan tidak adanya efek Spillover dalam hal integrasi di ASEAN, melainkan efek Spillaround, yakni terjadinya stagnasi dalam kerja sama regional di ASEAN, yang menuju kepada suatu keadaan yang menghalangi terjadinya proses penyatuan regional di ASEAN. Jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi, jangan berharap pencapaian komunitas ASEAN 2015 akan terwujud.

Karena itu saya menyebut apa yang dikatakan oleh Presiden SBY tentang ASEAN di atas sebagai logika terbalik fungsionalisme: ˜united more in word than reality.

Asrudin
Penulis adalah analis media sosial di Lingkaran Survei Indonesia Network (LSI Network)

Anda tidak dapat memprediksi kapan mengetahui sesuatu yang ekstra tentang
akan berguna. Jika Anda belajar sesuatu yang baru tentang
dalam artikel ini, Anda harus file artikel di mana Anda dapat menemukannya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar