VIVAnews - Komisi II DPR akan mendorong terus Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melaksanakan reforma agraria. Dorongan ini terus dilakukan mengingat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang terjadi di negara kita. Hal ini mengemuka saat Komisi II DPR rapat dengar pendapat umum dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Senin 9 November 2009 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Teguh Juwarno yang juga didampingi Ketua Komisi II H. Burhanuddin Napitupulu. Burhanuddin mengatakan, Komisi II sebetulnya sangat prihatin sudah puluhan tahun berjalan, namun belum juga ada UU baru yang mengatur tentang agraria. Karena itu, dia berharap ada skala prioritas pembahasan UU Agraia yang baru pada DPR periode sekarang. Ditambahkannya, kondisi pertanahan di Indonesia sangat memprihatinkan. Banyak tanah dalam skala besar dikuasai oleh pengusaha (modal besar). Akibatnya, banyak tanah dengan luas berhektar-hektar ditelantarkan begitu saja. Padahal di sisi lain, banyak rakyat yang membutuhkan tanah tersebut sebagai mata pencaharian. Tentunya hal ini sangat ironis, tanah yang terkatung-katung itu, tidak dapat dimanfaatkan oleh rakyat. Dalam hal ini, kata Burhanuddin, perlu ada aturan yang jelas yang mengatur hal itu, agar orang yang memiliki tanah tersebut tidak seenaknya menelantarkan begitu saja tanah yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh rakyat. Sementara itu, anggota dari Fraksi Partai Golkar Mustokoweni Murdi mengatakan, pemerintah harus didorong terus untuk melakukan reformasi agraria. Dalam pelaksanaan agenda ini, kata Mustokoweni, BPN selalu mengatakan sudah melaksanakan reformasi agraria. Namun reformasi agraria yang mana, karena dalam kenyataannya belum terlihat reformasi di bidang agraria ini, kata Mustokoweni. Ketua Dewan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan mengatakan, reformasi di bidang agraria mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya tanah yang dikuasai oleh pemodal-pemodal besar. Now that we've covered those aspects of news, let's turn to some of the other factors that need to be considered.
Sekitar 35,1 juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 17,38 juta hektar IUPPHHK telah diberikan kepada 248 perusahaan, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha, 8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industri, dan 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Sementara, kata Usep, di Pulau Jawa saja Perhutani sudah menguasai 1,78 juta ha. Berdasarkan information BPN (2007), hampir 70 persen aset nasional Indonesia dikuasai oleh 0,02 persen penduduk, dan lebih dari 50 persen dari asset itu adalah tanah pertanian (beserta kandungannya). Dari information tersebut terlihat hanya sedikit tanah yang menjadi porsi untuk pertanian rakyat. Padahal 30,2 juta rumah tangga (70,4 dari seluruh jumlah rumah tangga di Indonesia) berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 1993 hanya tersedia lahan pertanian sebanyak 17,1 juta hektar. Lebih jauh Usep mengatakan, ketimpangan penguasaan tanah pada lahan pertanian rakyat terjadi karena penyempitan luas lahan sawah untuk pertanian, dimana dalam kurun waktu enam tahun terakhir sejak 1998-2004 telah berkurang 808.756 ha dan musnahnya 75 persen lebih varietas padi lokal dari sebelumnya yang berjumlah 12.000. BPS juga mencatat, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993-2003) jumlah kaum petani gurem semakin meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Jumlah petani di Jawa adalah 12,5 juta rumah tangga petani atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu 40 persennya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 18 persen atau 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan pertanian, rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Kondisi ini menunjukkan semakin tidak berdayanya petani di negara kita. Padahal lumbung pangan negara ini ditentukan dari para petani tersebut. Usep menambahkan, solusi untuk mengatasi keadaan tersebut perlu dilakukannya pembaruan agraria. Pembaruan ini sebagai penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Jadi inti dari reforma agraria ini adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan pengusaan tanah, katanya. ¢ VIVAnews
Sekitar 35,1 juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 17,38 juta hektar IUPPHHK telah diberikan kepada 248 perusahaan, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha, 8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industri, dan 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Sementara, kata Usep, di Pulau Jawa saja Perhutani sudah menguasai 1,78 juta ha. Berdasarkan information BPN (2007), hampir 70 persen aset nasional Indonesia dikuasai oleh 0,02 persen penduduk, dan lebih dari 50 persen dari asset itu adalah tanah pertanian (beserta kandungannya). Dari information tersebut terlihat hanya sedikit tanah yang menjadi porsi untuk pertanian rakyat. Padahal 30,2 juta rumah tangga (70,4 dari seluruh jumlah rumah tangga di Indonesia) berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 1993 hanya tersedia lahan pertanian sebanyak 17,1 juta hektar. Lebih jauh Usep mengatakan, ketimpangan penguasaan tanah pada lahan pertanian rakyat terjadi karena penyempitan luas lahan sawah untuk pertanian, dimana dalam kurun waktu enam tahun terakhir sejak 1998-2004 telah berkurang 808.756 ha dan musnahnya 75 persen lebih varietas padi lokal dari sebelumnya yang berjumlah 12.000. BPS juga mencatat, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993-2003) jumlah kaum petani gurem semakin meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Jumlah petani di Jawa adalah 12,5 juta rumah tangga petani atau sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu 40 persennya tidak memiliki lahan sama sekali. Sementara di luar Jawa, ada sekitar 18 persen atau 8 juta jiwa petani yang tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan pertanian, rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Kondisi ini menunjukkan semakin tidak berdayanya petani di negara kita. Padahal lumbung pangan negara ini ditentukan dari para petani tersebut. Usep menambahkan, solusi untuk mengatasi keadaan tersebut perlu dilakukannya pembaruan agraria. Pembaruan ini sebagai penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Jadi inti dari reforma agraria ini adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan pengusaan tanah, katanya. ¢ VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar